bintang

Friday 22 January 2016

etika bisnis dalam islam

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

Salah satu kajian penting dalam Islam adalah persoalan etika bisnis. Pengertian etika adalah acode or set of principles which people live (kaedah atau seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia.
Etika adalah bagian dari filsafat yang membahas secara rasional dan kritis tentang nilai, norma atau moralitas. Dengan demikian, moral berbeda dengan etika. Norma adalah suatu pranata dan nilai mengenai baik dan buruk, sedangkan etika adalah refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk apa alasan pikirannya, merupakan lapangan etika.
Pada dasarnya etika (nilai-nilai dasar) dalam bisnis berfungsi untuk menolong pebisnis (dalam hal ini pedagang) untuk memecahkan problem-problem (moral) dalam praktek bisnis merek.
Di Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi khususunya oleh para konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental kapitalisnya, mempertanyakan apakah tepat mempersoalkan etika dalam wacana ilmu ekonomi?. Munculnya penolakan terhadap etika bisnis, dilatari oleh sebuah paradigma klasik, bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai (value free). Etika  bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip ekonomi, menurut mereka, adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
ekonomi telah menyadari makin tipisnya kesadaran moral dalam kehidupan ekonomi dan bisnis modern.
Contoh kecil kesadaran itu terlihat pada sikap para pakar ekonomi kapitalis Barat yang telah merasakan implikasi keburukan strategi spekulasi yang amat riskan mengusulkan untuk membuat kebijakan dalam memerangi spekulasi.
Prof. Lerner dalam buku “Economics of Control”, mengemukakan bahwa “kejahatan spekulasi yang agressif, paling baik bila dicegah dengan kontra spekulasi. Mereka tampaknya belum berhasil menyelesaikan krisis tersebut, meskipun mereka menanganinya dengan serius”.
Mungkin karena itulah Prof. Taussiq berusaha memecahkan masalah ini dengan memperbaiki moral rakyat. Ia dengan lantang berkomentar, “Obat paling mujarab, bagi kerusakan dunia bisnis adalah norma moral yang baik untuk semua industri”.
Pandangan-pandangan di atas menunjukkan, bahwa di Barat telah muncul kesadaran baru tentang pentingnya dimensi etika memasuki lapangan bisnis.

1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat di rumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
  1. Apa Tujuan Etika Bisnis dalam Ekonomi Islam?
  2. Bagaimana Tingkat Aplikasi Etika Bisnis dalam Ekonomi Islam?
  3. Bagaimana Etika dalam Fungsi Pemasaran?
  4. Bagaimana Konsep Etika dalam Pemasaran?
  5. Bagaimana Etika Produksi?
  6. Bagaimana Pengertian Produksi?
  7. Bagaimana Etika Islam dalam Produksi?
  8. Bagaimana Nilai dan Moral Produksi?
  9. Bagaimana Faktor Produksi?
  10. Bagaimana Tujuan Produksi?
1.3  Tujuan
  1. Untuk Mengetahui Tujuan Etika Bisnis dalam Ekonomi Islam.
  2. Untuk Mengetahui Tingkat Aplikasi Etika Bisnis dalam Ekonomi Islam.
  3. Untuk Mengetahui Etika dalam Fungsi Pemasaran?
  4. Untuk Mengetahui Etika dalam Pemasaran?
  5. Untuk Mengetahui Etika Produksi?
  6. Untuk Mengetahui Pengertian Produksi?
  7. Untuk Mengetahui Etika Islam dalam Produksi?
  8. Untuk Mengetahui Nilai dan Moral Produksi?
  9. Untuk Mengetahui Faktor Produksi?
  10. Untuk Mengetahui Tujuan Produksi?






















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tujuan Etika Bisnis dalam Ekonomi Islam
Dalam hal ini, etika bisnis islam adalah merupakan hal yang penting dalam perjalanan sebuah aktivitas bisnis profesional. Sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Syahata, bahwa etika bisnis Islam mempunyai fungsi substansial yang membekali para pelaku bisnis, beberapa hal sebagai berikut :
1.      Membangun kode etik islami yang mengatur, mengembangkan dan menancapkan metode berbisnis dalam kerangka ajaran agama. Kode etik ini juga menjadi simbol arahan agar melindungi pelaku bisnis dari resiko.
      2.      Kode ini dapat menjadi dasar hukum dalam menetapkan tanggungjawab para pelaku bisnis, terutama bagi diri mereka sendiri, antara komunitas bisnis, masyarakat, dan diatas segalanya adalah tanggungjawab di hadapan Allah SWT.
3.      Kode etik ini dipersepsi sebagai dokumen hukum yang dapat menyelesaikan persoalan yang muncul, daripada harus diserahkan kepada pihak peradilan.
      4.      Kode etik dapat memberi kontribusi dalam penyelesaian banyak persoalan yang terjadi antara sesama pelaku bisnis dan masyarakat tempat mereka bekerja.
      5.      Sebuah hal yang dapat membangun persaudaraan (ukhuwah) dan kerja sama antara mereka semua. 

2.2 Tingkatan Aplikasi Etika Bisnis dalam Ekonomi Islam
Adapun penerapan etika bisnis dapat dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu; individual, organisasi, dan sistem. Pertama, pada tingkat individual, etika bisnis mempengaruhi  pengambilan keputusan seseorang atas tanggungjawab pribadinya dan kesadaran sendiri, baik sebagai penguasa maupun manajer. Kedua, pada tingkat organisasi, seseorang sudah terikat kepada kebijakan perusahaan  dan persepsi perusahaan tentang tanggungjawab sosialnya. Ketiga, pada tingkat sistem, seseorang menjalankan kewajiban atau tindakan berdasarkan sistem etika tertentu.
Realitasnya, para pelaku bisnis sering tidak mengindahkan etika. Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis, misalnya toleransi, kesetiaan, kepercayaan, persamaan, emosi atau religiusitas hanya dipegang oleh pelaku bisnis yang kurang berhasil dalam berbisnis. Sementara para pelaku bisnis yang sukses memegang prinsip-prinsip bisnis yang tidak bermoral, misalnya maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas, semangat persaingan, dan manajemen konflik.

2.3 Etika dalam Fungsi Pemasaran
Dalam setiap produk harus dilakukan promosi untuk memberitahukan atau menawarkan produk atau jasa agar mudah dan cepat dikenali oleh masyarakat dengan harapan kenaikan pada tingkat pemasarannya. Promosi sangat diperlukan untuk dapat membuat barang yang produksi menjadi diketahui oleh publik dalam berpromosi diperlukan etika-etika yang mengatur bagaimana cara berpromosi yang baik dan benar serta tidak melanggar peraturan yang berlaku, etika ini juga diperlukan agar dalam berpromosi tidak ada pihak-pihak yang dirugikan oleh tekhnik promosi. Adapun fungsi-fungsi pemasaran adalah sebagai berikut:
  1. Fungsi Pertukaran
Dengan adanya pemasaran, pembeli dapat membeli produk dari produsen baik dengan menukar uang dengan produk maupun pertukaran produk dengan produk (barter) untuk dipakai sendiri atau untuk dijual kembali.
  1. Fungsi Distribusi Fisik
Distribusi fisik suatu produk dilakukan dengan cara mengangkut serta menyimpan produk. Produk diangkut dari produsen mendekati kebutuhan konsumen dengan banyak cara baik melalui air, darat, udara, dan sebagainya. Penyimpanan produk mengendapapkan menjaga pasokan produk agar tidak kekurangan saat dibutuhkan.
  1. Fungsi Perantara
Untuk menyampaikan produk dari tangan produsen  ketangan konsumen dapat dilakukan melalui perantara pemasaran yang menghubungkan aktivitas pertukaran dengan distribusi fisik. Aktivitas fungsi perantara antara lain pengurangan resiko, pembiayaan, pencarian informasi, dan standarisasi/ penggolongan produk.
Dalam menciptakan etika bisnis, Dalimunthe (2004) menganjurkan untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

a.       Pengendalian Diri Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun.
b.      Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility) Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi.
c.       Mempertahankan Jati Diri Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang- ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi adalah salah satu usaha  menciptakan etika bisnis.
d.      Menciptakan Persaingan yang SehatPersaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan  golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
e.       Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan” Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa datang.
f.       Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi) Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan  curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan Negara. Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima
kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi jangan menggunakan “katabelece” dari “koneksi” serta melakukan “kongkalikong”  dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi” serta memberikan “komisi” kepada pihak yang terkait.
g.      Menumbuhkan Sikap Saling Percaya antar Golongan Pengusaha Untuk menciptakan kondisi bisnis yang “kondusif” harus ada sikap saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah, sehingga pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan.
h.      Konsekuen dan Konsisten dengan Aturan main Bersama Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada “oknum”, baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan “kecurangan” demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan “gugur” satu semi satu.
i.        Memelihara Kesepakatan Memelihara kesepakatan atau menumbuhkembangkan Kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis.
j.        Menuangkan ke dalam Hukum Positif Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan dalam suatu hukum positif yang menjadi Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti “proteksi” terhadap  pengusaha lemah.

2.4 Konsep Etika dalam Pemasaran
      3 konsep etika dalam pemasaran menurut John R. Boatright adalah :
1.    Fairness (Justice)
Fairness menjadi pusat perhatian karena menjadi kebutuhan yang paling dasar
daritransaksi pasar. Setiap pertukaran atau transaksi dianggap fair atau adil ketika satusama lain memberikan keuntungan (mutually beneficial) dan memberikaninformasi yang memadai. Namun, pemberian informasi dalam transaksi ini masih diragukan. Hal inidisebabkan karena penjual tidak memiliki kewajiban untuk menyediakan semua. informasi yang relevan kepada pembeli/pelanggan, dan pembeli memiliki suatukewajiban untuk diinformasikan mengenai apa yang dibelinya.Pertanyaan mengenai siapa yang memiliki kewajiban menyangkut informasi initerbagi menjadi 2 doktrin tradisional dalam pemasaran, yaitu caveat emptor (biarkan pembeli berhati ± hati) dan caveat venditor (biarkan penjual berhati ± hati).
2.      FreedomFreedom Berarti memberikan jangkauan pada pilihan konsumen. Freedom dapatdikatakan tidak ada apabila pemasar melakukan praktik manipulasi, danmengambil keuntungan dari populasi yang tidak berdaya seperti anak ± anak,orang ± orang miskin, dan kaum lansia.
3.      Well-being Suatu pertimbangan untuk mengevaluasi dampak social dari produk da juga periklanan, dan juga product safety.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi manajer pemasaran untuk melakukan tindakan tidak etis (Schermerhorn, 1999), yaitu:
1)      Manajer sebagai pribadi.
Manajer secara pribadi ingin Memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri, faktor lain yang mendorong manajermelakukan perilaku tidak etis yaitu agama dan tingkat pendidikan.
2)      Organisasi.
Adanya aturan tertulis serta kebijakan resmi dari topmanajemen akan mempengaruhi tindakan etis para manajer, sehinggakadangkala mereka mengabaikan prinsip-prinsip pribadi mereka untukkepentingan organisasi.
3)      Lingkungan
Salah satu bentuk pemasaran yaitu melalui iklan. Iklan dikenal sebagai motor penggerak ekonomi dalam dunia industri. Perusahaan membuat iklan dengan tujuan untuk meningkatkan profit dan keeksisan di pasar, untuk merebut pengaruh dan perhatian konsumen.
2.5 Pengertian Produksi
Dr. Muhammad Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata al-intaj yang secara harfiyah dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min ‘anashir alintaj dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan pengabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas).
Produksi menurut Kahf mendefinisikan kegiatan produksi dalam perspektif Islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki tidak hanya kondisi fisik materialnya, tetapi juga moralitas, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama Islam, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dari dua pengertian di atas produksi dimaksudkan untuk mewujudkan suatu barang dan jasa yang digunakan tidak hanya untuk kebutuhan fisik tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan non fisik, dalam artian yang lain produksi dimaksudkan untuk menciptakan mashlahah bukan hanya menciptakan materi.
Produksi adalah menciptakan manfaat dan bukan menciptakan materi. Maksudnya adalah bahwa manusia mengolah materi itu untuk mencukupi berbagai kebutuhannya, sehingga materi itu mempunyai kemanfaatan. Apa yang bisa dilakukan manusia dalam “memproduksi” tidak sampai pada merubah substansi benda. Yang dapat dilakukan manusia berkisar pada misalnya mengambilnya dari tempat yang asli dan mengeluarkan atau mengeksploitasi (ekstraktif).
Memindahkannya dari tempat yang tidak membutuhkan ke tempat yang membutuhkannya, atau menjaganya dengan cara menyimpan agar bisa dimanfaatkan di masa yang akan datang atau mengolahnya dengan memasukkan bahan-bahan tertentu, menutupi kebutuhan tertentu, atau mengubahnya dari satu bentuk menjadi bentuk yang lainnya dengan melakukan sterilisasi, pemintalan, pengukiran, atau penggilingan, dan sebagainya. Atau mencampurnya dengan cara tertentu agar menjadi sesuatu yang baru.
Pada masa Rasulullah, orang-orang biasa memproduksi barang, dan beliau pun mendiamkannya. Sehingga, diamnya beliau menunjukan adanya pengakuan beliau terhadap aktivitas berproduksi mereka. Aspek produksi yang berorientasi pada jangka panjang adalah sebuah paradigma berfikir yang didasarkan pada ajaran Islam yang melihat, bahwa proses produksi dapat menjangkau makna yang lebih luas, tidak hanya pencapaian aspek yang bersifat materi keduniaan, tetapi sampai menembus batas cakrawala yang bersifat keakhiratan.

 2.6 Etika Produksi
Parameter kepuasan Islam bukan hanya terbatas pada aspek material lahiriyah atau harta benda konkrit keduniawan tapi juga tergantung pada sesuatu yang bersifat abstrak, jiwa dan spiritual, seperti iman, dan amal shaleh yang dilakukan manusia. Atau dengan kata lain, bahwa kepuasan dapat timbul dan dirasakan oleh seorang manusia muslim ketika harapan mendapat pahala dari Allah SWT atau mendapat ridho Allah SWT.
Pandangan ini tersirat dari bahasan ekonomi yang dilakukan oleh Hasan Al Banna. Beliau mengutip firman Allah SWT yang mengatakan: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah SWT telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin.” (QS. Lukman: 20).
Semua sumber daya yang terdapat di langit dan di bumi disediakan Allah SWT untuk kebutuhan manusia, agar manusia dapat menikmatinya secara sempurna, lahir dan batin, material dan spiritual. Apa yang diungkapkan oleh Hasan Al Banna ini semakin menegaskan bahwa ruang lingkup keilmuan ekonomi Islam lebih luas dibandingkan dengan ekonomi konvensional. Ekonomi Islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah SWT.
Al-Qur’an juga telah memberikan tuntunan visi bisnis yang jelas yaitu visi bisnis masa depan yang bukan semata-mata mencari keuntungan sesaat tetapi “merugikan”, melainkan mencari keuntungan yang secara hakikat baik dan berakibat baik pula bagi kesudahannya (pengaruhnya). Salah satu aktifitas bisnis dalam hidup ini adalah adanya aktifitas produksi.

2.7 Etika dalam Fungsi Produksi
Di dalam proses produksi akan melibatkan berbagai jenis sumber daya, sebagai masukan dalam proses produksi, di antaranya adalah material, modal, informasi, energi, maupun tenaga kerja.
Fungsi produksi dilakukan oleh perusahaan untuk menciptakan atau pengadaan atas barang atau jasa menurut muslich. Secara filosofis, aktivitas produksi meliputi:
  1. Produk apa yang dibuat
  2. Berapa kuantitas produk yang dibuat
  3. Mengapa produk tersebut dibuat
  4. Di mana produk tersebut dibuat
  5.  Kapan produk dibuat
  6. Siapa yang membuat
  7. Bagaimana memproduksinya
Secara grafis hubungan etika dengan fungsi produksi dapat digambarkan sebagai berikut:
Akhlak utama dalam produksi yang wajib diperhatikan kaum muslimin, baik secara individual maupun secara bersama ialah bekerja pada bidang yang dihalalkan Allah SWT, tidak melampaui apa yang diharamkan-Nya. Dengan demikian tujuan produksi, menurut Qardhawi adalah:
a. Untuk memenuhi kebutuhan setiap individu
b. Mewujudkan kemandirian umat
Terkait dengan tujuan pertama, ekonomi ( bisnis ) Islam sangat mendorong produktivitas dan mengembangkannya baik kuantitas maupun kualitas. Islam melarang menyia-nyiakan potensi material maupun potensi SDM. Di dalam bisnis Islam kegiatan produksi menjadi sesuatu yang unik dan istimewa, sebab di dalamnya terdapat itqan ( profesionalitas ) yang dicintai Allah SWT dan ihsan yang diwajibkan Allah atas segala sesuatu. Tujuan produksi adalah mencapai dua hal pokok pada tingkat pribadi muslim dan umat Islam. Pada tingkat pribadi muslim, tujuannya adalah merealisasi pemenuhan kebutuhan baginya, sedangkan pada tingkat umat Islam telah merealisasikan kemandirian umat. Tujuan lain adalah merealisasikan kemandirian ekonomi umat.
2.8 Etika Islam dalam Produksi
Jika kita bicara tentang nilai dan ahlak dalam ekonomi dan muamalah, maka tampak secara jelas di hadapan kita empat nilai utama,yaitu:
(1) rabbaniyah, (2) akhlak, (3) kemanusiaan, dan (4) pertengahan. Nilai–nilai ini menggambarkan kekhasan yang utama bagi ekonomi Islam, bahkan dalam kenyataanya merupakan kekhasan yang bersifat menyeluruh yang nampak jelas pada segala sesuatu yang berlandaskan ajaran Islam. Makna dan nilai-nilai pokok yang empat ini memiliki cabang, buah dan dampak bagi seluruh segi ekonomi dan muamalah Islamiyahdi bidang harta berupa produksi, konsumsi, sirkulasi,dan distribusi.
Raafik Isa Beekun dalam bukunya menyebutkan, paling tidak ada sejumlah parameter kunci sistem etika Islam yang dapat dirangkum, seperti:
 (a) berbagai tindakan ataupun keputusan disebut etis bergantung niat individu yang melakukannya. Allah Maha Kuasa mengetahui apapun niat kita sepenuhnya secara sempurna;
(b) niat baik diikuti tindakan yang baik dan dihitung sebagai ibadah. Niat yang halal tidak dapat mengubah tindakan yang haram menjadi halal
(c) Islam memberikan kebebasan kepada individu untuk percaya dan bertindak berdasakan apapun keinginannya;
(d) percaya kepada Allah member individu kebebasan sepenuhnya dari hal apapun kecuali Alah;
(e) keputusan yang menguntungkan kelompok mayoritas ataupun minoritas secara langsung bersifat etis dalam dirinya;
(f) Islam mempergunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai sistem tertutup, dan berorientasi diri sendiri. Egoism tidak mendapat tempat dalam ajaran Islam;
 (g) keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara bersama antara al-qur’an dan alam semesta;
(h) tidak seperti system etika yang diyakini banyak agama lain, Islam mendorong umat manusia untuk melaksanakan tazkiyah melalui partisipasi aktip dalam kehidupan ini. Dengan berprilaku secara etis di tengah godaan ujian dunia, kaum muslim harus mampu membuktikan ketaatannya kepada Allah.

2.9 Nilai dan Moral dalam Produksi
Sesungguhnya Islam memusatkan perhatiannya pada pendistribusian harta, bukan pada produksi dan perkembangannya. Ekonomi Islam menekannkan pada pembagian kekayaan secara adil dan tidak memiliki hubungan sama sekali. Jika yang dimaksud dengan produksi adalah cara dan alat serta  metode, maka pernyataan ini bisa diterima. akan tetapi jika berkaitan dengan tujuan, niai dan aturan berproduksi, maka tidak diragukan lagi bahwa pemahaman ini adalah keliru. Karena itu masalah ini harus dijelaskan agar difahami rambu-rambunya.
Nilai dan norma dalam berproduksi, sejak dari kegiatan mengorganisasi faktor  produksi, proses produksi hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen, semuanya harus mengikuti moralitas Islam. Metwally (1992) mengatakan bahwa perbedaan dari perusahaan-perusahaan non Islami tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan stragtegi pasarnya. Produksi barang dan jasa yang dapat merusak moralitas dan menjauhkan manusia dari nilai-nilai religious tidak akan diperbolehkan.
Terdapat lima jenis kebutuhan yang dipandang bermanfaat untuk mendapat falah, yaitu:
a)      Kehidupan
b)      Harta;
c)      Kebenaran
d)     Ilmu pengetahuan
e)      Kelangsungan keturunan.
Selain itu, Islam juga mengajarkan adanya skala prioritas (dharuriyah, hajjiyah, dan tahsiniyah) dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi serta melarang sikap berlebihan. Larangan ini juga berlaku bagi segala mata rantai dalam produksinya. jika kita renungkan di dalam Al-Quran, maka kita akan mendapatkan bahwa Allah menganjurkan kepada kita untuk menggunakan sumber kekayaan alam. Yusuf Qardawi paling tidak membagi pembahasan mengenai norma menjadi beberapa pembahasan yaitu:
1.    Hewan
2.    tumbuh-tumbuhan
3.     kekayaan laut
4.    kekayaan tambang
5.    matahari dan bulan.
Semua itu diciptakan untuk diambil manfaatnya oleh umat manusia.

2.10     Faktor Produksi
Faktor-faktor produksi merupakan instrumen kegiatan produksi yang disediakan alam atau diciptakan manusia untuk dipergunakan dalam memproduksi barang dan jasa. Faktor produksi disebut masukan yang secara umum terbagi dua yaitu faktor produksi yang tersedia secara asli dan faktor produksi yang diciptakan manusia.
Ketersediaan faktor produksi tidak sama dalam setiap wilayah. Hal ini menimbulkan kesenjangan ekonomi, dan kemiskinan yang akan menghantui negara dengan sumber daya alam berlimpah, tetapi belum bermanfaat. Pembahasan faktor produksi dalam Islam sangat variatif karena Al-Quran dan As-Sunnah tidak menyajikannya secara eksplisit.
Dengan melihat perkembangan kegiatan produksi yang semakin kompleks maka pembahasan ini mengkategorikan faktor produksi dalam empat kriteria yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, modal, dan institusi. Maksud kategorisasi adalah ketersalinggantungan antar faktor produksi. Misalnya wilayah dengan sumber daya alam potensial belum tentu mampu mengelola kekayaannya jika tidak memiliki modal finansial. Juga kalau keberadaan institusi tidak mampu mengelola dan mendistribusikan.
Sumber daya alam disediakan bagi umat manusia harus mampu difungksikan secara maksimal agar berguna. Dalam kegiatan produksi Islam, keberadaan faktor produksi di atas karena keagungan statusnya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi. Sebagai salah satu faktor produksi, sumber daya alam menyediakan instrumen bagi manusia untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Di samping itu, kekayaan alam memberikan pengajaran tentang kebesaran Allah SWT dan kewajiban manusia untuk memanfaatkan dan mengalokasikannya secara adil.
Suruhan moral dalam memperlakukan sumber daya alam adalah memakmurkan sumber daya alam. Memakmurkan sumber daya alam merupakan kewajiban manusia (QS. Hud: 61). Larangan untuk merusak sumber daya alam. Larangan merusak sumber daya alam sebagai sumber kehidupan disebutkan Allah dalam QS. Al-Qashash ayat 77.
Begitu juga dengan sumber daya manusia yang dituntut untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuannya dalam  pekerjaan. Dengan  demikian, pemilihan tenaga kerja yang handal dan profesional menjadi kriteria utama. Fazlur Rahman menyebutkan klasifikasi ini, yaitu:    Berdasarkan keahlian dan ketrampilannya. Islam menjunjung tinggi nilai kerja dan output maksimal, sehingga kaum muslimin dituntut untuk belajar dan menekuni berbagai keahlian dan ketrampilan kesehatan fisik dan moral. Kekuatan fisik dan kejujuran merupakan kriteria pekerja yang handal dalam Islam. Akal pikiran yang baik. Akal pikiran yang baik (good personality) dibutuhkan untuk menggagas, inovasi, menilai mekanisme, dan hasil kerja dalam pekerjaan, pendidikan dan pelatihan. Meningkatkan kualitas kerja secara kolektif dilakukan dengan serangkaian program pendidikan dan pelatihan.
Suruhan moral dalam mendayagunakan potensi sumber daya manusia dalam Islam adalah: Manusia menjadi faktor penting kegiatan produksi. Keberadaannya selain sebagai produsen juga menjadi penikmat hasil produksi. Aktualisasi kemampuan dan keahlian manusia dalam kegiatan produksi sangat penting karena statusnya sebagai pengelola sumber daya ekonomi yang disebutkan Al-Quran sebagai ‘abd dan khalifah fi al-ardh. Senantiasa memperbaharui dan meningkatkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial. Masyarakat Islam berkerja sama meningkatkan kapasitas dan etos kerja manusinya dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan.
Modal berkaitan dengan alat produksi yang dibutuhkan untuk membantu memproduksi barang dan jasa yang lain. Modal biasanya dibagi menjadi modal tetap dan modal gerak. Islam melihat modal yang dimiliki seseorang merupakan pendapatan individu atau masyarakat di luar pengeluarannya. Jika modal dimiliki masyarakat maka berkaitan dengan harta benda yang bernilai dan dimiliki secara kolektif. Adapun modal individu adalah harta yang dimiliki seseorang dengan harapan memberikan penghasilan dan nilai tambah.
Ada beberapa mekanisme untuk mengakumulasi modal bagi masyarakat Islam 1). Zakat, 2). Transaksi mudharabah, 3). Kemitraan musyarakah, 4). Transaksi ijarah, 5). Transaksi murabahah, 6). Transaksi istishna, 7). Qardhul hasan, 8). Transaksi muzara’ah, dan 10). Pasar modal syari’ah.
Suruhan moral dalam mencari dan mendayagunakan modal dalam Islam, sebagai berikut:
1.        Sebagai faktor produksi, keberadaan modal harus halal dan baik dimana cara perolehan dan penggunaannya mengikuti nilai-nilai syariat Islam.
2.        Islam mengenal distribusi modal melalui jalur kerja sama antara masyarakat Islam baik dalam kegiatan bisnis, pertanian, perdagangan, dan sebagainya.
3.        Modal finansial dapat diakumulasikan melalui lembaga keuangan dan instrumen zakat dalam rangka menggali potensial ekonomi masyarakat.
Sebagai faktor penting dalam produksi, institusi berfungsi sebagai wadah kerja sama untuk menghasilkan barang kebutuhan, memobilisir pertumbuhan ekonomi masyarakat dan peningkatan kualitas hidup manusia. Pengembangannya tidak terlepas dari sistem managerial internal dan output-nya dalam konteks sosial kemasyarakatan. Output institusi adalah kebutuhan sosial yang sesuai dengan tujuannya berdasarkan kriteria etika dan moral organisasi. Atas dasar itu, institusi dalam Islam memilliki ciri, sebagai berikut:
1.    Kekuatan yang menggerakkannya adalah kerja sama dimana investasi dan akumulasi modal berdasarkan persekutuan usaha. Basis kegiatan produksi didasarkan pada ekuitas bukan pinjaman.
2.    Memperhatikan faktor manusia sebagai human capital. Institusi dalam Islam merupakan manifestasi keinginan bersma untuk mengaktualisasikan dirinya secara kolektif dengan tujuan syari’ah.
3.    Menekankan integritas moral dalam operasional institusi.
4.    Menekankan peningkatan kualitas sumber daya manusia sejalan dengan maksimalisasi profit dan benefit.
5.    Suruhan moral memaksimalkan potensi institusi dalam Islam, sebagai berikut:
a.       Suruhan bekerja sama dalam manajemen yang rapi dan profesional serta dalam mekanisme kemitraan institusi untuk saling meningkatkan kapasitas personalnya.
b.      Institusi dalam Islam memiliki tanggung jawab pengabdian pada Tuhan dengan menggungkan status dan keluhuran martabat manusia dalam mengimplementasikan visi, misi dan program institusi tersebut.
c.       Institusi memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat untuk memajukan dan mencerdaskan masyarakat tersebut

2.11 Tujuan Produksi
Tujuan produksi dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi Islam, tujuan produksi dalam Islam yaitu memberikan mashlahah yang maksimum bagi konsumen.
Di samping itu, menurut Islam tujuan produksi secara umum adalah untuk mencapai fallah (kebahagiaan, kesejahteraan) hakiki yaitu:
1.      Memenuhi kewajiban sebagai khalifah di bumi, beribadah kepada Allah dan untuk menjalankan fungsi sosial.
2.      Untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan keluarga.
3.      Sarana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa secara umum.
4.      Sebagai persediaan untuk generasi yang akan datang. Walaupun dalam ekonomi Islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum Islam.
Dalam konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah. Keuntungan bagi seorang produsen biasannya adalah laba (profit), yang diperoleh setelah dikurangi oleh faktor-faktor produksi. Sedangkan berkah berwujud segala hal yang memberikan kebaikan dan manfaat bagi produsen sendiri dan manusia secara keseluruhan. Keberkahan ini dapat dicapai jika produsen menerapkan prinsip dan nilai Islam dalam kegiatan produksinnya. Dalam upaya mencari berkah dalam jangka pendek akan menurunkan keuntungan (karena adannya biaya berkah), tetapi dalam jangka panjang kemungkinan justru akan meningkatkan keuntungan, kerena meningkatnya permintaan. Berkah merupakan komponen penting dalam mashlahah.
Oleh karena itu, bagaimanapun dan seperti apapun pengklasifikasiannya, berkah harus dimasukkan dalam input produksi, sebab berkah mempunyai nyata dalam membentuk output. Berkah yang dimasukkan dalam input produksi meliputi bahan baku yang dipergunakan untuk proses produksi harus memiliki kebaikan dan manfaat baik dimasa sekarang maupun dimasa mendatang. Penggunaan bahan baku yang ilegal (tanpa izin) baik itu dari hasil illegal logging, maupun penggunaan bahan baku yang tanpa batas dalam penggunaannya dalam jangka waktu pendek mungkin akan memiliki nilai manfaat yang baik (pendistribusian baik), tetapi dalam jangka waktu panjang akan menimbulkan masalah. Sebagai contoh penggunaan bahan baku dari illegal logging dalam jangka panjang akan menimbulkan berbagai bencana, dan akan memberikan nilai mudharat kepada para penerus atau generasi selanjutnya.





























BAB III
PENUTUP

3.1              Simpulan
A.    Fungsi Pemasaran
a)      Fungsi Pertukaran
b)      Fungsi Distribusi Fisik
c)      Fungsi Perantara

B.     Produksi
Produksi adalah menciptakan manfaat dan bukan menciptakan materi. Maksudnya adalah bahwa manusia mengolah materi itu untuk mencukupi berbagai kebutuhannya, sehingga materi itu mempunyai kemanfaatan. Apa yang bisa dilakukan manusia dalam “memproduksi” tidak sampai pada merubah substansi benda. Yang dapat dilakukan manusia berkisar pada misalnya mengambilnya dari tempat yang asli dan mengeluarkan atau mengeksploitasi (ekstraktif).
Faktor-faktor produksi merupakan instrumen kegiatan produksi yang disediakan alam atau diciptakan manusia untuk dipergunakan dalam memproduksi barang dan jasa. Faktor produksi disebut masukan yang secara umum terbagi dua yaitu faktor produksi yang tersedia secara asali dan faktor produksi yang diciptakan manusia.
Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan produksi dalam Islam yaitu memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen.
Walaupun dalam ekonomi Islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum Islam. Dalam konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah
DAFTAR PUSTAKA

Basyir, Ahmad. 2000. “Asas-asas Hukum Mu’amalat”. Yogyakarta: UII Press.
Qardhawi, Yusuf. 1997. ”Norma dan Etika Ekonomi Islam”. Jakarta: Gema insani press.
Karim, Adiwarman. 2000. “Suatu kajian Ekonomi Makro”. Jakarta: IIIT Indonesia.
Karim, M. Rusli. 1992. “Berbagai Aspek Ekonomi Islam”. Yogyakarta: PT.Tiara Wacana.





1 comment:

  1. How to gamble at a casino - JM Hub
    Most 원주 출장안마 casinos offer 과천 출장안마 live dealer games for the player's 영천 출장마사지 You can get around 김천 출장마사지 the house and enjoy live 서울특별 출장샵 action like no other. The games feature a real casino

    ReplyDelete